Pict: NU_Online |
Tema ini sangat tepat untuk digumuli secara kritis sebagai basis
diskursus intelektual Santri cerdas : sebelum di bahas, ada beberapa pertanyaan
yang patut sebenarnya kita pertanyakan dalam merayakan hari santri kali ini,
pertama. Sevital
apakah peran santri, hingga diperingati
semegah hingga pelososk negeri ini?. Apakah santri memang benar-benar menjadi
tonggak peradaban negeri ini, hingga ada perayaan dan dirayakan khusus pada bulan tertentu?, dari pertanyaan
ini agak bersambung dengan tema diatas. Mari kita bahas bersama dalam tulisan dibawah
ini
Kesepakatan ada di pikiran masing-masing pembaca tentang apakah
santri betul berperan sebagai tonggak peradaban bangsa yang besar ini?’.. namun
sebelum anda jawab secara privasi “YA!/TIDAK!”, ada beberapa catatan kecil yang
perlu kita tulis sembari menikmati kopi malam untuk menjawab dan menyepakati
pertanyaan diatas, salah satunya adalah kematian, ya .. kematian.
Kematian peran vital santri dalam perannya kini selaku pemegang
tonggak peradaban berangsur mulai terasa, dalam wacana keilmuan yang di
realisasikan sahabat-sahabat
Gusdurian probolinggo dalam diskusi rutin
malam kemarin, terasa betul bagaimana hari ini santri telah melambaikan
tangannya dalam meninggalkan kultur budaya dan ciri pesantren sebagai basis
gerak mereka, sebab budaya santri menurut pendapat saya, memiliki beberapa
kriteria agar mereka tetap menjadi tonggak peradaban dan memiliki peranan aktif
dalam menjaga maupun meruwat keniscayaan ragam suku, ras, budaya dan agama
Bangsa dan Negara ini. Apa sajakah itu?
Satu. Budaya ilmiah atau tradisi membaca. Adalah bagian kriteria dan
merupakan tugas dalam budaya ke-Santri-an sosok suci dipesantren ini, Santri di
pesantren sejak awal masuk sudah diperkenalkan budaya ‘Bahtsu Masa’il’ yang
itu adalah salah satu kegiatan utama dalam pesantren untuk santri-santri baik
junior maupun senior, budaya ilmiah ini adalah budaya yang ditanamkan oleh
pesantren kepada para santri agar dalam jiwa mereka tertanam wawasan keilmuan,
kekritisan literasi, budaya berdiskusi dan bahkan termasuk membaca didalamnya,
pengalaman yang pernah saya alami dipesantren bahtsu masa’il ini dilaksanakan satu
miggu sekali, agar para santri mendapatkan bekal ke-PeDe-an dalam memasuki
ruang lingkup ilmiah nantinya, dan agar mereka tak menjadi ‘generasi kagetan’
(bahasa kekiniannya) saat mereka menikmati luasnya ilmu yang didapatkan. Budaya ini kini
mati bagi kalangan santri yang sudah bisa dikatakan alumni, mereka lebih asyik
menikmati dunia malamnya saat kegiatan perkuliahan sudah selesai mereka
kerjakan dipagi hari. Namun jangan khawatir, sebab, tak sedikit pula yang juga
masih memiliki rasa peduli terhadap matinya kultur ini, yang pada akhirnya
mereka akan tetap menjaga tradisi yang mati ini.
Santri dalam takrif KH. Hasani Nawawie pada Tahun 1966 salah satu
pengasuh pesantren sidogiri ialah ; SANTRI berdasarkan peninjauan tindak
langkahnya ialah orang yang berpegang teguh dengan Al-Quran dan mengikuti
As-Sunnah Rasul serta teguh pendirian. Dari pengertian ini saja saya sudah
haqqul yaqin bahwasanya santri haruslah gemar membaca (ilmiah culture) laiaknya
perintah dalam surah Al-‘Alaq dalam ayat Al-Quran.
Dua. Menebar keluhuran sosial, disini rasa soliditas dan solidaritas
seorang santri dan yang bukan bisa kita uji, apakah ia mampu menerima lemparan
batu atas roti yang ia tebar?. belajar atas sosok seorang kiyai, Kiyai Dur
namanya, ia berpesan pada kami, “Maafkanlah Segala Kesalahannya, Namun
jangan Lupakan” ini sungguh bagi saya pribadi menanandakan jiwa kesatriaan
seorang Kiyai sekaligus santri dihadapan musuh politiknya kala itu dalam
berlaku luhur atas tetangga politiknya kala itu, beliau mencontohkan seperti
dalam buku “Ilusi Negara Islam” Libforall hal.13 bahwasanya, “Hawa
nafsu adalah satu kekuatan, yang selalu menyimpan potensi destruktif, dan
delalu membuat jiwa selalu resah gelisah dan tidak pernah tenang”. ini yang
saya sebut dengan tetap menebar keluhuran sosial, bagi saya Gusdur ingin
membawa santrinya pada dimensi dimana sejatinya kalian harus memahami harus
dengan cara yang lain, karena bumi tak selalu datar.
Bagi seorang santri menurut saya menebar keluhuran sosial ini
cukuplah dengan menjaga kerukunan antar tetangga, antar kamar, antar gang, atau
antar daerah, menjaga kebaikan pada sesama, baik pada senior, maupun santri
junior, tidak tebang pilih. Lalu saya jadi teringat 9 nilai utama Gusdur yang
ke 7. Persaudaraan. Ini yang diinginkan sebenarnya yaitu menjaga tali
persaudaraan antar tetangga adalah salah satu gerakan mikro bagi seorang santri
dalam menafkahi dirinya akan sebuah kedamaian.
Tiga. Menjaga kerukunan ummat beragama. Saat mondok dulu, saya teringat
ajaran Saikh Ahmad Syakir di Kitab Akhlaq Lil Banin-Nya, beliau meyampaikan.
Akhlaq terpuji itu salah satunya adalah ; menghormati orang tua, kakak, adik,
sanak saudara, tetangga dan teman sebaya. Saya tidak menghusukan bahasa beliau
pad latarbelakang manusia apapun, agamanya, sukunya, rasnya, ataupun budayanya,
saya lebih suka me-نكرة-kan bahasa beliau ketimbang harus
menghususkan pada salah satunya. Artinya bahwa yang beliau inginkan adalah kita
selaku An-Nas mesti tetap menjaga Ukhuwah (jalinan tali), entah apapun
itu, baik Ukhuwah Insaniyah (jalinan kemanusiaan) Ukhuwah Bashariyah
(jalinan kebangsaan) Ukhuwah Wathaniyah lebih-lebih (jalinan kenegaraan)
haruslah dipegang erat oleh setiap manusia dimuka bumi ini, sebab sifat dasar
manusia adalah mahluk sosial yang juga bergantung pada manusia yang lainnya.
Manusia indonesia adalah manusia yang seharusnya disadari adalah
mahluk yang konvergensifitasnya harus dan wajib tetap terjaga, ia tidak boleh
tersekat oleh tirai-tirai kelambu hitam identitas ras dan kelompoknya
masing-masing, karena indonesia memang ditaqdirkan menjadi negeri yang
multikultur (Multiculture) tempat dimana segala perbedaan itu ada,
varian-varian inilah yang kiranya dalam bagian yang kedua ini sebagai ummat
yang beragam kita harus saling menghormati dan menjaga keyaqinkan satu sama
lain, bukan malah untuk bergengsi mengalahkan dan menjustifikasi ummat beragama
lain atas dasar efek kemyoritasan. Efek domino yang ditimbulkan jika sebaliknya
terjadi pasti akan lebih jauh mengerikan daripada harus merebut kemerdekaan itu
kembali dan inilah tugas riil Kang Santri hari ini, yang saya pastikan kedepan
bukan semakin sempit namun akan lebih semakin kompleks dan dinamis lagi,
seiring pergumulan zaman dan pertarungan global persaingan dunia.
Empat. Menjaga
keutuhan negara secara universal, menerima keniscayaan universalitas bangsa,
yang beridentitas plural. Indonesia lahir dari berbagai macam ras, suku,
budaya, dan adat istiadat, siapapun tak mungkin bisa menafikan hal serupa,
dalam kompleksifitas keragaman budaya ini tantangan terbesar terbentang luas
dalam kebernegaraan kita, selaku santri yang sangat etnoreligius saya sangat
dan pantas mengakui kepatutan saya untuk menghormati segala hal dan bentuk
perbedaan yang tercipta disekeliling saya. Santri yang nature beragama muslim
haruslah memiliki kompetensi dan wawasan serta pengalaman luas hari ini agar
tak tergilas oleh perdaban baru yang mulai menyebar dan menebar, islam yang
semakin lentur dan dituntut harus dinamis kini ‘wajahnya’ berada pada santri.
Ini bisa kita sepakati dengan bahasa “Era-Santri”, era dimana santri
menjadi wakil peradaban keberlangsungan utuhnya Negara dan Jayanya sebuah
agama.
Sejak tragedi 11/09/01 WTC di Amerika, wajah islam seketika berubah
180derajat berbalik seiring tragedi terrorisme yang dituduhkan pada islam saat
itu, di indonesia tak luput, sasaran dari konflik religi ini, Bom Bali I, Bom
Bali II, merupakan titik tolak balik jungkir baliknya pesantren atas tuduhan
sarang terroris dari australia pada indonesia, dan semua itu terekam dalam
wajah topeng yang dikenal dengan “Islamophobia”. Seperti yang John M.
Hull dari Brimingham University pernah menyampaikan, Konflik agama bisa
berakibat dari buruknya sistem/pendidikan yang hanya akan mendoktrinasi
siswanya menjadi Zombie Agama, akibatnya, muncullah pandangan dan sikap self-glory
(kami lebih mulia), self-righteous
(kami lebih saleh), dan holier-than-thou (kami lebih
suci), ini tertuang jua dalam
buku “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita”.
Tulisan yang di sampaikan Yayah Khisbiyah ini mendasarkan
kita sebenarnya, bahwa kita harus menskip seperatisme agama dengan
menghilangkan 3 cocok pikiran tadi, selaku santri yang memang terpelajar dan
terdidik agama dengan baik dan benar. Para santri kini haruslah mendapatkan
asupan pengetahuan Agama yang memadai secara kontekstual, agar nantinya
pemahaman Agama yang mereka dapati tak dipahami secara parsial, sebab
kanibalistis itu tak perlu terencana dan tersusun rapi untuk menciptakan
manusia anti-kedamaian, manusia bahkan bisa bersikap defensif bila ia tak
mendapatkan asupan gizi pengetahuan dengan kompherensif saja sudah bisa menjadi
pemangsa pembenaran bukan kebenaran.
Maka benang merah yang bisa saya simpulkan dari wacana yang
terakhir adalah santri haruslah didesak belajar memahami dan mengapresiasi
keberagaman -diatasnya harus ada peran serta lembaga pendidikan (pesantren;saya
kira) dan agama yang strategis dalam mereposisikan pemahaman Al-Islam sebagai
Din As-Salam yang menyelamatkan, Agama yang ramah nan cinta damai-, serta dalam
tugasnya menciptakan merevitalisasi kerukunan, bukan hanya bagi sesama yang
muslim saja, tetapi harus lebih lebar dan menjauh lagi, sekurang-kurangnya
santri tak antipati terhadap saudaranya yang tak seagama dan tak serumpun,
mulai mau belajar, mengimplementasikan apa itu paradigma, pendekatan, dan
metode pendidikan multikulturalisme dan pluralisme, dan ini haruslah menjadi
dasar untuk meng-internalisasikan sikap toleran terhadap perbedaan dan ke-Bhinneka-an.
Krakasaan, 23 Oktober 2017.
Penulis: King Dany (Kordinator Gusdurian Probolinggo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar