Muhammad Al-Fayyadl |
Pasca-Gus Dur. Kombinasi
kata ini aneh. Seakan Gus Dur adalah sebuah istilah yang mentereng, selevel
dengan pascamodernisme, misalnya. Untuk nama orang, hampir tidak
pernah kita temukan kata pasca dilekatkan begitu saja sebagai
buntut: tak ada “pasca-Buramin”, “pasca-Mularmah”, atau “pasca-Sariman”. Dalam
literatur ekonomi-politik, kita pernah mengenal sebuah era setelah 1950-an yang
disebut post-Fordism, atau pasca-Fordisme, untuk
menandai babakan era kapitalisme baru setelah kematian Henry Ford, jutawan
pencipta mobil dengan merek namanya. Orang Barat punya kebiasaan menyematkan
kata pasca di belakang nama figur yang kiprahnya mereka anggap
memberikan capaian besar dalam sejarah, sering kali dengan bubuhan isme,
seakan satu orang itu menandai satu fase sejarah yang amat penting.
Gus Dur mungkin memenuhi
kriteria untuk disematkan isme di belakang namanya. Namun,
sangat jarang kita mendengar “Gus Durisme”, sehingga rasanya anomali yang tak
wajar meng-isme-kan Gus Dur. Meng-isme-kan Gus Dur, kita bukan saja akan
dituduh mengideologikan sosoknya, memitoskan segala tindak-tanduk ke-nyelenehan-nya,
tapi memang tidak ada alasan yang cukup memadai untuk melakukannya. Sepertinya
jika Gus Dur masih hidup, ia akan menertawakan isme-isme itu, seraya mengajak
kita untuk tak terlalu serius dengan apa yang ia omongkan. “Gitu aja kok
repot!”.
Gus Dur, karenanya,
berbeda dengan Bung Karno. Bung Karno, sosok yang begitu tegak menjulang dalam
sejarah republik ini, adalah seorang ideolog dalam pengertian yang harfiah dan
konsisten, sehingga para pengikutnya kerap menyebut “Soekarnoisme” untuk
mengidentifikasi diri dengan pemikirannya. Mendengar kata “Soekarnoisme”, kita
masih dapat menangkap asosiasi logis yang coba dibangun, tapi tidak dengan “Gus
Durisme”. Seolah Gus Dur memang tak tercipta untuk di-isme-kan.
Jika setahun tepat
setelah kematiannya, sejumlah besar orang kemudian menyebut diri mereka “Gus
Durian”, dan muncul begitu banyak paguyuban, komunitas, atau perkumpulan kecil
“Gus Durian” di berbagai kota, itu bukan karena Gus Dur seorang pemimpin
tarekat dan mereka hendak membangun tarekat gusduriyyah, tapi
karena ada keinginan kecil yang lamat-lamat menguat dan meluas untuk
memposisikan “Gus Dur” dalam aktualitas kita hari ini. Dengan kata lain,
memahami apa itu “pasca-Gus Dur” dan apa implikasi konkretnya.
Kata Sifat dan Kata Kerja
Memahami “pasca-Gus
Dur”, berarti menilai lagi apa posisi Gus Dur dalam imajinasi kita hari ini.
Meletakkan Gus Dur hanya sebagai sumber nostalgia, kita tak yakin bahwa ini
berlangsung lama. Setahun, dua, tiga, atau empat tahun, bayangan-bayangan
kenangan tentangnya masih kuat menancap; kita bisa menjaga ingatan itu dengan
terus-menerus mengadakan seremoni tertentu untuk mengenangnya, berbagi “rindu”
dengannya atau dengan orang-orang yang pernah bertemu dengannya, atau berdoa
bersama untuknya, lazimnya upacara-upacara haul di pesantren. Karena setiap
ingatan selalu butuh untuk diimajinasikan-ulang, maka ia butuh
institusionalisasi, dan berbagai seremoni itu merupakan bentuk
institusionalisasi “Gus Dur” dalam ingatan sosial kita.
Namun, cinta dan
keharuan akan kenangan masa lalu itu rasanya tak cukup. Ujian bagi nama-nama
besar sering kali datang dari waktu yang terus melangkah. Gus Dur sendiri
sering berujar dalam berbagai tulisannya, “Hanya waktu yang bisa menjawabnya”.
Sebagaimana kawan baiknya, Cak Nur, yang namanya tampak kian terdengar sayup
karena perbedaan pandangan dan langkah di antara “pewaris-pewaris”
pemikirannya, nama Gus Dur dapat juga mengalami ujian yang sama seiring kaki
waktu yang terus melangkah. Gerusan zaman hari ini yang begitu ganas, gelombang
isu-isu yang terus menerpa bagai tsunami di republik ini, hingga krisis
kepercayaan akan nama-nama besar akibat individualisme yang tinggi, dapat saja
menghanyutkan—jika tidak menenggelamkan—perlahan-lahan nama Gus Dur dan
mendamparkannya ke tepian terjauh ingatan kita.
Di sini, “pasca-Gus Dur”
dalam konteks gerakan Gus Durian mendapat aksentuasinya. Sekadar menjadi “Gus
Durian”, berarti meletakkan Gus Dur sebagai kata sifat, dan itu artinya
menyematkan suatu identifikasi diri dengan Gus Dur sebagai sumber nostalgia dan
ingatan. Sebagaimana keimanan, menurut sebuah diktum dalam khazanah Islam
klasik, bertambah dan berkurang, menguat dan menyusut, “iman” Gus Durian ini
dapat juga bertambah dan berkurang, melonjak atau menyusut, dan bahkan hilang sama
sekali tak berjejak. Hasrat untuk menancapkan Gus Dur pada ingatan semata,
sebagai sumber nostalgia, tidak menjamin ingatan itu mampu bertahan terhadap
tarikan waktu yang terbukti lebih digdaya daripada prasasti nama-nama besar
dalam sejarah masa lalu kita.
Gus Dur tampaknya memang
tidak cocok untuk sekadar menjadi kata sifat, menjadi ajektif, karena Gus Dur
adalah pelaku, subjek, yang sepanjang hidupnya bergulat dengan laku,
dengan tindakan dan aksi. Gus Dur tak pernah menjadi Gus Durian, jika Gus Durian
hanya berarti kata sifat—barangkali mirip Marx yang pernah menolak disebut
Marxis, dugaan saya, sejauh menjadi Marxis hanya berarti atribut. Dalam
keunikan dan kapasitasnya itu, Gus Dur adalah Gus Durian sekaligus Gus Dur itu
sendiri; seorang yang selain punya sifat-sifat Gus Dur, juga seorang yang menggusdur,
orang selalu mengaktualkan diri dalam tindakannya.
Sebagai pelaku, Gus Dur
dikenal luas karena keberpihakannya yang konsisten atas kelompok
termarjinalkan: minoritas, buruh, eks-tapol, TKI, masyarakat adat, kelompok
kepercayaan, dan elemen-elemen akar rumput lainnya. Berbagai tindakan itu
secara teoretis kemudian sering disebut sebagai upaya untuk menjaga kekuatan
masyarakat sipil di hadapan negara, yang saat itu begitu kuat dan represif.
Meski begitu, Gus Dur sebenarnya berjuang bukan hanya untuk masyarakat sipil
secara umum, tetapi juga untuk kelompok kelas dan sub-kelas, unsur-unsur sosial
yang tersubordinasikan lagi di bawah kelas-kelas yang ada (the subaltern).
Mereka bukan lagi buruh, tetapi buruhnya buruh; bukan lagi tani, tetapi
buruhnya tani; bukan lagi pekerja, tetapi pekerjanya pekerja. Kepada berbagai
anasir yang sering luput dari perhatian ini, Gus Dur sering menautkan
keberpihakannya.
Dan keberpihakan itu,
meski diolahnya dari sumber-sumber teoretis yang kaya (baik tradisional dari
khazanah keislaman sendiri maupun modern dari ilmu-ilmu sosial), selalu
diterjemahkannya dalam praksis nyata. Ia mengunjungi secara pribadi
kelompok-kelompok itu, memberi dukungan, atau berbicara di media, yang kemudian
mengetuk perhatian banyak orang untuk bekerja bersama-sama menangani persoalan
tertentu menyangkut mereka. Ia memang berpihak, karena Gus Dur
secara sosial tergolong orang dari kelas yang beruntung dan memiliki “modal
kultural”: ia putra seorang kiai, seorang terdidik, dan punya akses untuk
menjadi pemimpin. Namun, walau begitu, keberpihakan ini bukan keberpihakan
rata-rata kaum kelas menengah yang berubah-ubah seturut angin “sikon”, tetapi
keberpihakan yang menempatkan ia sebagai pihak yang menjadi korban itu sendiri—keberpihakan
yang menyepihak. Itu alasan mengapa Gus Dur sering menempuh jalan yang tak
populer, sebuah jalan sunyi, yang membuatnya disalahpahami, atau kalau mujur,
setengah dimaklumi “hanya Tuhan dan Gus Dur yang tahu maksudnya”.
Setelah ia tiada, kita
merasakan memang, betapa langkah-langkah personal seperti itu terlalu berat
dibebankan lagi pada satu atau dua orang. Terlalu berat berharap lagi pada
figur-figur yang ada—tokoh-tokoh yang eksis sering kali bukan dari tindakan
nyata, melainkan polesan citra. Karena memang tak mudah “meniru” Gus Dur, atau
menjiplaknya, orang lebih memilih menjadi Gus Durian.
Tapi para Gus Durian itu
bukan copy-paste dari Gus Dur, bukan pula pengikut dari sebuah
isme, atau fans club dari sebuah federasi sepakbola Gus Dur.
Buat saya, mereka hanya orang yang ingin mengubah Gus Dur dari “kata sifat”
menjadi “kata kerja”. Kata kerja untuk Indonesia, dengan atau tanpa baju Gus
Dur.[]
Penulis : Muhammad Al-Fayyadl
* Dikutip langsung
dari Buku Bahan Bacaan Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) SekNas Jaringan
GUSDURian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar