Salah satu karya sastra besar yang pernah lahir di muka bumi
adalah Le Petit Prince (diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Pangeran
Cilik). Novel tipis itu dibuka dengan pembukaan yang apik dan menggelitik.
Tokoh ‘aku’ pada umur enam tahun terpukau dengan sebuah gambar yang ia lihat di
buku tentang alam rimba: gambar seekor sanca menelan seekor hewan buas.
*********
Terinspirasi gambar itu, ia pun tergerak untuk menggambar
sesuatu. Gambar itu lantas ia tunjukkan kepada orang-orang dewasa. Mereka mengira
itu gambar topi. Karena memang mirip betul dengan topi koboi. Tapi kata si
anak: itu bukan topi, itu gambar ular sanca menelan seekor gajah.
Sepanjang novel memikat ini, kita disuguhi humor-humor segar
khas anak kecil. Salah satu hal menarik yang dapat kita petik setelah membaca
novel Pangeran Cilik adalah perkara sudut pandang, tentang bagaimana sesuatu
dilihat. Dan mungkin kita akan mengingat kembali almarhum Gus Dur.
Guru Bangsa yang humoris itu memang memberi kita banyak
pelajaran soal sudut pandang. Salah satu yang paling mudah diingat adalah
ujaran Gus Dur soal DPR. Dengan enteng beliau bilang DPR itu tak ubahnya taman
kanak-kanak.
Ya, secara kasat mata, anggota dewan adalah orang-orang
terhormat. Berpakaian necis, berjas, berdasi, bergaji tinggi dan menjadi wakil
dari rakyat Indonesia. Alangkah kere, betapa hebat. Tapi, dengan sudut pandang
lain Gus Dur bilang mereka seperti anak-anak TK. Ternyata benar, mereka yang
minta dipanggil dengan sebutan yang mulia itu berisik sekali, manja, cengeng,
suka cari perhatian khas anak TK. Terbukti, Gus Dur memang punya sudut pandang
yang anti-mainstream, out of the box dan selalu mengena.
Cara padang nyleneh macam itu juga ditunjukkan Gus Dur
ketika ia harus meninggalkan istana dan menanggalkan jabatan presiden. Ia
dengan santai memakai celana pendek dan kaos oblong di depan istana sambil
tersenyum dan melambaikan tangan. Kiranya tak pernah ada presiden ‘segokil’ itu
di dunia ini. Dan jika dilihat lebih dalam, Gus Dur seperti ingin mengirim
pesan kepada kita semua: tidak ada jabatan yang harus dipertahankan
mati-matian. Juga sejatinya istana presiden adalah istana rakyat, sehingga
bercelana pendek dan berkaos oblong tak perlu dilihat dengan tatapan heran dan
aneh.
Kisah-kisah mengenai bagaimana cara pandang Gus Dur yang
asyik tentang pelbagai persoalan tentu tak ada habisnya dikisahkan. Yang perlu
kita tanyakan kemudian adalah mengapa cara pandang yang moderat, jalan tengah,
penuh perdamaian dan memiliki keberpihakan yang jelas serupa itu makin terkikis
akhir-akhir ini? Di masyarakat kita hari ini, justru subur cara memandang suatu
persoalan dengan pandangan yang sempit. Sehingga banyak orang dengan mudah
bilang: muslim mengucapan selatan Natal haram, terompet juga haram karena
termasuk alat musik Yahudi, dan ungkapan-ungkapan menyedihkan lain.
Kita tentu miris melihat kenyataan itu. Kita mungkin
bertanya-tanya, mengapa mereka tidak melihat ucapan selamat Natal dari seorang
muslim sebagai bentuk persaudaraan? Mengapa mereka yang Kristen dianggap
sebagai ‘orang lain’ dan bahkan musuh hanya lantara mereka ‘berbeda’? Mengapa
orang-orang menjadi menyebalkan, sebagaimana di novel Pangeran Cilik, yang
melihat gambar ‘ular sanca menelan gajah’ sebagai gambar ‘topi’ belaka?
Benarkah mereka terjangkit penyakit malas berpikir dan keras kepala?
Laku beragama dengan sudut pandang yang tak luas sebetulnya
mengkhawatirkan. Intelektual muslim, Abdul Munir Mulkhan, menengarai, mereka
yang berpaham radikal (dan pelaku teror) cenderung memiliki cara pandang hitam
putih. Menurutnya, bagi pelaku tidak
kekerasan dengan dalih berjihad, hanya tersedia dua pilihan: hidup mulia atau
mati syahid (isy kariman au mut syahidan), menang menghancurkan musuh Allah
atau mati masuk surga.
Penganut teologi teror memandang semua selain diri dan
kelompoknya adalah sah untuk dihancurkan, apalagi mereka yang telah menangkapi
dan membunuh teman-temannya. Tidak peduli apakah mereka seagama atau beda
agama. Dalam logika verbal dua muka: surga-neraka, halal-haram, setan-malaikat,
benar-salah, pahala-dosa, yang terus ditanamkan, dapat mendorong masyarakat
terjebak pola ‘hidup mulia atau mati syahid’.
Ngeri sekali membayangkan orang-orang yang hanya tahu
surga-neraka, halal-haram, dan pahala-dosa itu
kian hari kian bertambah banyak. Alangkah tidak menariknya jika dunia
ini dipenuhi oleh mereka yang menempatkan semua selain diri dan kelompoknya
sebagai musuh dan wajib diperangi. Maka, semestinya lebih banyak lagi
orang-orang yang menggemakan semangat beragama ala Gus Dur. Beragama dengan
santai, penuh humor, tidak kaku dan tidak kagetan.
Abraham Zakky Zulhazmi
adalah alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menulis
bukuPropaganda Islam Radikal di Media Siber (Intijati, 2015). Editor di Surah
e-magz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar