Pasca
ngaji rutinan dua minggu sekali tentang ‘hari santri’, Gusdurian
probolinggo kembali menggelar refleksi
‘sumpah pemuda’ yang jatuh pada tanggal 28
oktober yang bertepatan perayaannya yang ke-89. Dihadiri oleh beberapa kalangan
pemuda baik dari pelajar dari tingkat siswa-mahasiswa, pemuda pegiat seni
hingga santri dari berbagai pesantren, dan
mereka semua antusias untuk mengikuti diskusi rutinan secara khidmat.
Tulisan ini ingin
menyinggung beberapa tentang esensi sumpah pemuda itu
sendiri. Impresi pertama kali yang saya dapat saat tulisan ini dibuat adalah
kebodohan dan kemiskinan saya tentang “api sumpah pemuda” sebab kutipan
Soekarno yang pernah beliau sampaikan pada saat kongres pemuda yang ke-35
ialah, jangan warisi abu sumpah pemuda, tapi warisilah api sumpah pemudanya.
Hal ini membuat saya bertanya-tanya dan timbul tanda tanya besar dalam gubahan
saya akan mungkin adanya sebuah fase kemerosotan semangat pemuda, degradasinya
moral dan etika pemuda, hilangnya gairah muda bagi pemuda itu sendiri, atau
mungkin ini sebagai sebuah pesan sejarah dari soekarno untuk generasi di masa
depan yang akan melanjutkan tonggak peradaban bangsa ini dikemudian hari, atau
sebaliknya? Kutipan itu hanya lahir dan beliau peruntukkan bagi generasi tua yang
tak mau mendengarkan dan mengakomodasi gagasan pemuda pada saat itu, hingga
akirnya kemerdekaan yang indonesia ini di dapat bagi seorang Tan Malaka adalah
sebuah kemerdekaan semu belaka dari generasi tua macam Soekarno & Hatta.
Dalam hal ini ada
beberapa manifesto yang bisa saya ulurkan untuk pembaca hasil dari diskusi pada
malam itu terlepas dari kepentingan apapun itu namanya, sebab disini penulis
hanya akan menyampaikan dan saling berbagi untuk saudara pembaca sekalian sebagai
tugas dan tanggung jawab kami selaku juga generasi muda yang masih bisa mampu
memusyawarahkan gagasan-gagasan produktif dan pendapat-pendapat ilmiah tentang
esensi sebenarnya apa dan siapa dan bagaimana kita mengkontekstualisasikan hari
yang kita sebut dengan “Sumpah Pemuda” menurut versi teman-teman dan
kawan-kawan Gusdurian Probolinggo disini.
Hari ini kita hidup
di generasi XYZ atau yang sering juga kita kenal dengan generasi Millenial
–selanjutnya kita sebut dengan G-mell atau Kidz Zaman Now (KZN)–, dimana
segala peradaban modern berkembang pesat dan cepat, teknologi sebagai kebutuhan
primer, sedangkan sosialita menjadi tahta penting bagi mudi-mudi, dan muda-mudi
menjaga eksistensi dengan media sosial seakan telah menjadi ruh
kehidupan untuk mengisi hari demi hari generasi ini. Bagi saya itu semua adalah
bentuk cerminan dari cepat dan pesat terkonstruknya sebuah zaman baru untuk
generasi baru pula. namun disisi lain tak lupa agama dan budaya sebagai
penopang dibawahnya tak bolehlah luput harus dijadikan sebagai landasan
fundamen untuk mengakomodir kehidupan itu semua, karena seakan generasi
millenial kini seolah berpacu untuk menjadi yang terbaik dan modern harus dengan
menanggalkan sisi religiusitas dan etnokultural mereka –dan itu harus– baik itu
dari penilaian diri sendiri atau penilaian masyarakat umum. Modernitas telah memperkosa
sekat-sekat dan melewati ambang batas segalanya, sehingga corak dan ciri
masyarakat indonesia yang konsumtif menjadi titik lemah bagi neokolonialisme
untuk menguasai segala aspek kehidupan generasinya hari ini.
Berbeda dengan
generasi muda pada masa lampau jang doeloe masih ikut andil dalam kancah
pergerakan Nasional dalam sejarah kemerdekaan, mereka masih mau menikmati
masa-masa perjuangan mereka untuk berusaha membebaskan negeri ini dari pelbagai
macam penjajahan. Salah satunya ialah Moh. Yamin (23 Agustus 1903
talawi, sawah lunto), tokoh nasional sekaligus tokoh sumpah pemuda yang kita
rayakan minggu lalu, beliau adalah contoh generasi muda pada masanya sebagai
generasi emas –hingga dalam catatan buku ”menguak misteri sejarah” karya
Asvi W.A ia diberi lembaran khusus dua bagian (episode) mengulas
ulang sosok satu ini dari beberapa sisi kesejarahan dan track record-nya
sebagai pahlawan kemerdekaan– yang sangat produktif dalam berbagai bidang dan
concern. Terbukti beliau adalah sosok yang multitalent, menjabat sebagai
politisi, menteri, pemikir sejarah, satrawan, bahkan ahli hukum. Salah satu
sikapnya yang mapan dan terkenal pula tentang sejarah sumpah pemuda adalah
penolakannya tentang usulan disahkannya bahasa Jawa sebagai bahasa resmi Nasional,
karena bagi beliau bahasa adalah landasan utama eksistensi ‘bangsa’.
“Sumpah Pemuda”
adalah keputusan Kongres Pemuda kedua yang terselenggara selama 2 hari, 27-28
Oktober 1928 di Batavia (jakarta) dimana tokoh-tokohnya terdiri dari Amir
Sjarifudin selaku bendahara kongres, Soegondo Djojopuspito selaku ketua, R.M
Joko Marsaid selaku akil ketua, Moh. Yamin sebagai skretaris dkk. sebutan Sumpah
Pemuda diberikan setelah kongres selesai melalui secarik kertas dari Moh. Yamin
kepada Soegondo dengan ucapan berbisik meyakinkan Moh. Yamin berkata pada
Soegondo “Ik heb een eleganter formulering voor de solutie”. Hari Sumpah
Pemuda kemudian menjadi perayaan hari Nasional dan masuk dalam kategori Perayaan
Hari Besar Nasional (PHBN) sebagai salah satu arkeologi negara yang tercatat
sebagai rentetan sejarah penting bagi bangsa indonesia, selain hari-hari besar
lainnya. Sumpah pemuda diperingati disetiap penghujung bulan Oktober setiap
tahunnya. Di hari ini juga dianggap sebagai satu tonggak penting dalam sejarah
pergerakan Kemerdekaan Nasional yang mana ikrar inilah dianggap sebagai sebuah
pelecut demi menegaskan cita-cita kemerdekaan untuk terbentuknya sebuah negara
kesatuan yang sah dan merdeka. Dalam buku “Sejarah ; Memahami
Sejarah Kontroversi ORDE BARU” dalam salah satu kutipan pidato B.J Habibie, hari
kongres pemuda adalah sebuah struktur sejarah yang bertautan sejak dari ; (1908)
didirikannya organisasi modern pertama B.U, lalu (1928) momentum Kongres Pemuda
II yang terdiri dari berbagai elemen putra-putri bangsa yang menginginkan satu
pan-pemuda atau persatuan pemuda bisa
besatu demi tegaknya kemerdekaan dibumi pertiwi mereka, kemudian (1945) sebagai
sebuah peristiwa sejarah kemerdekaan penting setelahnya. Sungguh, ini ialah
gerakan kristalisasi riil yang menginginkan kemerdekaan seutuhnya dari para
pemuda saat itu dan mereka masih juga memikirkan bagaimana cara atau langkah
yang tepat untuk mempersatukan kekuatan pemuda untuk merobah nasib bangsa ini,
dan terjadilah kongres itu.
Bagi penulis sendiri,
ada beberapa preseden sebagai sebuah bentuk konvergensitas diadakannya “sumpah
pemuda” oleh pemuda-pemudi pada masa Moh. Yamin tersebut. Pertama ialah
Semangat ke-bhinneka-an, telah penulis sampaikan seperti halnya
diatas, bahwa penolakan Moh. Yamin atas usulan bahasa Jawa sebagai bahasa Nasional
adalah sebagai sebuah bentuk kritik konstruk dari keinginannya untuk menjadikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, bahasa Tauhid, bahasa
persatuan. Sebab, mereka sadar bahwa Indonesia yang sangat kaya akan ragam
budaya, ras, suku, bahasa, dan agama tentunya tak akan bisa menerima perbedaan
jika perbedaan itu tak dipersatukan dengan suatu cita-cita semangat Perbedaan
(Bhinneka) komunikasi, ya.. inilah bahasa, sebuah symbol pemersatu
perbedaan karena dengan berkomunikasilah kita akan faham apa yang ingin kita
atau mereka sampaikan. Kedua Semangat Tauhid, semangat yang saya
ambil dari bahasa salah seorang Filsuf Mesir bernama ‘Hassan Hanafi’. Beliau
mempopulerkan Islam Kiri (Al-Islam Al-Yasr), namun esensi sebenarnya
yang saya tangkap adalah beliau menginginkan semangat Tauhid, semangat yang di
satukan dalam bahasa “Perlawanan” atas Neo-Kapitalism dan Dekadensi Dunia
Pengetahuan Muslim, namun disini penulis ingin mentransfer semangat itu pada
ruh ‘Sumpah Pemuda’ yang menjadi tonggak sejarah bangsa kita, bagaimana
sekiranya G-Mell hari ini bisa menyerap dan bisa memupuk kesadaran atas
degradasi moral yang sedang melanda negeri tanah surga ini. Ketiga adalah
Semangat Perlawanan, semangat ini terlahir sebenarnya dari rahim sumpah
pemuda itu sendiri sebagai sebuah kepentingan yang luhur akan nilai-nilai,
cita-cita, dan keinginan sumpah ini sendiri, sebab, dahulu kala sumpah pemuda
jua muncul dari sebuah cita-cita perlawan atas kolonialisme dan imperialisme
belanda dan sekutu. Atas dasar inilah penulis ingin mengkampanyekan hak-hak
dasar kita sebagai Human (manusia) yang Liberty (Bebas),
Egality (Setara), Social (Mahluk sosial). mereka (tokoh –
tokoh Sumpah Pemuda), penulis yakini, mengerti dan faham betul atas dasar
materialisme dialektis yang banyak menimbulkan semangat-semangat perlawanan
dalam babad-babad literatur sejarah perlawanan suatu bangsa tetaplah mendominasi
lalu, BUUM!! Menimbulkan gejolak semangat api perlawan yang bak badai tiada
henti akan bermuara pada satu titik, apalagi jika jika itu bukan KEMERDEKAAN!!?.
Maka sepatutnyalah kita sebagai Kidz Zaman Now / G-Mell paling tidak bisa
memeras peluh nadir yang mereka ajarkan pada kita melalui pembacaan bahasa-bahasa
sejarah, pemahaman-pemahaman literatur buku-buku, atau bahkan hanya mampu
mendiskusikan dari Ruh Semangat “Sumpah pemuda” itu sendiri sekurang-kurangnya.
"شبنواليوم
رجال الغذ" adalah salah satu kutipan yang banyak
disampaikan dibangku pesantren, dari kiyai, asatidz, asatidzah, guru hingga
poster dinding dikelas tak lupa pesan ini yang selalu ditulis dan tersampaikan
pada para santri-santriwati. Selaku santri
yang masih terikat dengan nama baik Pesantren, penulis sangatlah menghargai
proses-proses pemuda G-Mell hari ini yang mau merasakan bangku pesantren, sebab
di pesantrenlah jua semangat muda dan esensi sumpah pemuda secara eksplisit
tersampaikan dan diaplikasikan, disadari atau tidak. Dalam kacamata analisa
penulis, “Sumpah Pemuda” dapat dikontekstualisasikan relevansinya
sesuai zaman G-Mell / Kidz Zaman Now (KZN) yang berkembang seperti sekarang,
beberapa diantaranya adalah.
Tantangan
Generasi Millenial / Kidz Zaman Now
Ini adalah sedikit
dari uneg – uneg penulis bagaimana kita meletakkan sumpah pemuda sesuai zaman
yang kita piijaki hari ini, kita tahu semua, sudah 89 tahun lamanya momentum
ini sudah kita lewati, sedangkan kita tidak tahu apa saja proses-proses sejarah
yang telah mereka para tokoh lalui dalam menegakkan Ukhuwah Wathaniyah ini,
agar ini sebagai juga menjadi refleksi bagi pembaca yang juga merasa menjadi
bagian dari pentingnya mengawetkan arkeologi agung bangsa kita yang tertuang
dalam sumpah pemuda ini.
Bertolak belakang dari esensi sebenarnya,
mari kita reposisi sumpah pemuda sebagai sebuah nilai sejarah, kita posisikan
terlebih dahulu sumpah pemuda sebagai sebuah “tantangan” (Challenge)
yang para penduhuku kita torehkan untuk bangsa kita ini, kita meletakkan dasar-dasar
sumpah pemuda bukan sebagai nilai sejarah, tapi tantangan yang harus kita
ladeni, kita terima, dan kita upayakan bahwa kita sebagai generasi penerus akan
mampu dan lebih bisa menjawab tantangan ini dengan lebih banyak menorehkan
catatan-catatan sejarah lain yang akan mengharumkan nama bangsa atas nama
pemuda / generasi millenial muda Indonesia, kita selaku penerima tantangan ini
harusnya tidaklah dengan sangat entengnya mereposisi atau bahkan menerima
tantangan yang mereka serah wariskan pada kita, karena sumpah pemuda terlahir
dengan menorehkan prestasi-prestasi gemilang, melawan kolonialism, mengusir
penjajahan, membantu terciptanya suasana merdeka fisik-dhohiriyah demi tegaknya
negara yang berdaulah dan mandiri, bebas dari tekanan dan campur tangan
kompeni-kompeni belanda yang sangat begitu kapitalistik.
Kita yang hidup di
era–Teknologi Komunikasi tentunya juga tak bisa terhindar dari budaya
globalisasi gadget, dan sangat di sayangkan, generasi muda hari ini masih
cenderung terkotak-kotak dan tak mau bersatu, bagaimana mau bersatu, jika kita
masih mudah dipecah belah hanya dengan satu dua paragraph pesan-pesan broadcast
(siaran). Sedangkan pesan pesan itu penuh dan banyak mengandung ujaran-ujaran
kebencian dan hasutan, dan saya kira disinilah posisi agama harus lebuh
mendominasi, tak hanya melulu semangat sumpah pemuda yang terserap namun agama
juga mampu mengisi ruang-ruang kosong yang akan mudah di isi setan-setan
kebencian jika terus dibiarkan dan jangan sampai diabaikan, bairkan “sumpah
pemuda” melebur dalam dan bersama pendidikan, namun jangan sampai tantangan ini
kita tak memiliki tameng yan kuat nan kokoh. Adigang, adigung, adiguna
masyarakat Jawa seperti yang disampaikan Prof. Dr Agus Sunyoto hari penulis
rasa tidaklah hanya dimiliki oleh satu kelompok masyarakat, bahkan lebih dari
pada itu, bisa sangat dimiliki dan menjadi sifat kebencian yang menjadi virus
utama dalam melumat generasi muda tanpa ampun, yang pada akhirnya hanya akan
mengkotak-kotakkan identitas kita yang Bhinneka.
Jika kita telah
melampaui dan mampu menjinakkan era–teknologi komunikasi globalisasi gadget,
maka kita juga harus berpikir, biasanya kebiasaan yang didapat generasi penerus
adalah kebiasaan yang ditularkan dari generasi tua pada anak-anak mudanya yang
lebih polos dan suci dari dosa, namun, kepolosan itu bisa berakibat fatal
bilamana mereka tak berani membaca, mengamati, menganalisa, kebiasaan-kebiasaan
yang mereka dapatkan akan lebih luas efek kehancurannya –ibarat pedang
bermata tiga– pada sejarah pradaban selanjutnya untuk generasi muda
penerusnya. Generasi muda yang sangat memperihatinkan bagi dunia Juga adalah
generasi yang tak mau belajar dari kesalahan masa lalu demi membangun masa
depan yang lebih cerah. benar saja kata Tan, bahwa kita harus
memberangus generasi tua yang seenaknya saja, karena campur tangan (intervensi)
generasi tua pada generasi muda tak akan mungkin bisa terelakkan dan
terhindarkan, selama generasi tua masih mendominasi dan menghirup nafas di
dunia yang penuh dengan sesak ini.
Melebur
Identitas Mempersatukan Individulitas
Agama menjadi issue
sentral dalam melancarkan pengaruh – pengaruh kebencian bagi generasi muda hari
ini, bagaimana tidak, kita bisa melihat kasus yang menimpa Basuki Tjahja
Purnama (read;Ahok) dalam setahun–tiga tahun terakhir. kasus yang
menyorot bahasa “penistaan” ini banyak mengundang keprihatinan media massa
interlokal, dan negara-negara internasional, Indonesia seakan diuji dengan
terpaan dan tuduhan Negara dengan sistem Demkorasi semu. Bahasa sexy yang
kabarnya menyinggung salah satu ayat dalam salah satu satu isi Al-Kitab suci
salah satu agama besar di Indonesia ini kontan menjadi sorotan beberapa ormas “besar”
dan gerakan-gerakan separatisme ekstrimis, sontak saja, kabar yang berawal mula
dari pidato si Ahok ini tersebar melalui timeline utama media sosial Facebook
dengan langsung mendapat tanggapan dan menyebar dalam waktu 1 x 24 jam, dalam
bahasa yang terpleset ini Ahok yang berkepercaayaan lain lalu mendapat tuduhan
serius dan justifikasi sepihak dari sebagian kalangan ummat agama yang merasa
tersinggung atas bahasa keseleonya yang ia sampaikan di lokasi seminar itu,
kontan saja kabar ini langsung menjadi perdebatan dari banyak kalangan pihak,
tak sedikit pula disitingsi yang mewakili keprihatinan masyarakat agama kelas
moderat yang memandang itu hanya sebagai salah satu strategi jagalisme politik
praktis dalam perebutan kekuasaan. Ahok yang mulai dituduh “menistakan agama”
perlahan tapi pasti kemudia di giring opininya bahwa ia “diharamkan”
mencalonkan diri sebagai pemimpin ibukota kembali pada saat itu atas dasar
tuduhan berbeda agama, ada juga banyak tuduhan-tuduhan selain itu, semisal
antek aseng, non-pribumi, china komunis.
Ini menandakan bahwa
masyarakat masyarakat belum mampu melebur identitasnya sebagai warga negara
yang majemuk dan multiculture di sisi lain masyarakat indonseia mencirikan
sebagai masyarakat yang bebal dengan budaya membaca, bebal dengan budaya
menganalisa sebelum menyimpulkan, bebal dengan budaya bertanya sebelum menyama
dengankan, bebal dengan budaya musyawarah sebelum bertindak, dan masih mampu
dan kuat dengan budaya budaya khobar – khobar HOAX (Palsu, Dhoi’f) yang
dipelihara dan dipertahankan sampai saat ini. Anda bayangkan saja, isi atau
konten video Ahok saat menjabat sebagai pemimpin legal yang seharunya menjadi
pelajaran sebelum ia berpindah ke daerah jakarta, malah di isi dengan tulisan
tulisan provokatif dan kemudian mengopinikan bahwa manusia macam dia tak
sepatutnya menjadi manusia, apapula pemimpin.
Solusi yang tidak
solutif dari penulis sebelum penulis akhiri tulisan anti Hoax ini. Mari kita
budayakan menjadi generasi millenial / kidz zaman now yang memiliki kebiasaan –
kebiasaan ilmiah, kebiasaan yang tak hanya konsumtif tapi juga mampu lebih produktif
, budaya Saring sebelum Sharing, budaya tabayyun, lalu tak mudah
mempercayai berita atau kabar berkonten negatif, dan mampu memiliki budaya yang
berbudaya yang tak hanya mampu membudaya tapi juga mampu membudi dayakan. Tentang
“Sumpah Pemuda” tak lupa kita sepatutnyalah tidak hanya mengandalkan
pangku tangan sendiri pada orang lain, tidak hanya mampu merayakan sumpah
pemuda sebagai ritual seremoni saja –seperti bahasa mas Sucipto– namun juga
mampu mengimbangi dengan aplikasikan ruh semangat sumpah pemuda pada gerakan
nyata paling mikro.
Penulis:
King
Dany (Kordinator Gusdurian Probolinggo)
Tulisan yang santai dan bagus .... semoga blognya bisa lebih aktif dan perbanyak tulisannya.
BalasHapus
BalasHapusThanks infonya. Oiya ngomongin kids zaman now, ternyata saat ini ada loh platform pengembangan dana buat generasi tersebut. Dan katanya sih menguntungkan banget. Selengkapnya, temen-temen bisa cek di sini: pengembangan dana untuk milenial