Pages

Terorisme Dunia Digital


Pertumbuhan media digital memungkian gerak revolusi dalam beragam lini. Pola komunikasi antar orang, kelompok dan jaringan, lebih mudah tersampaikan dengan efek viral yang cepat. Revolusi media digital ini, pelan tapi pasti, mengubah struktur nalar, pola persuasi hingga praktik komunikasi. Demikian juga, dalam konteks radikalisme agama, mengalami transformasi dalam penggunaan media. Pertumbuhan media digital juga berimbas pada pola baru radikalisme agama, dengan munculnya digital terrorism (terorisme dunia digital). 

Data yang dirilis WeAreSocial (2015), pengguna internet di negeri ini pada kisaran 72,7 juta. Dari data ini, sekitar 72 juta merupakan pengguna aktif media sosial, yang diakses dari 60 juta akun media dari mobile. Ini artinya, media sosial sangat efektif dalam penyampaian pesan, perspektif dan informasi terbaru. Kasus terbaru, bagaimana bom meledak di Jakarta, pada 14 Januari 2016 kemarin, dapat tersebar secara massif dengan pola lintas media, terutama didukung mudahnya mengakses media sosial. Tentu saja, sebagai sebuah peristiwa, meledaknya bom di tengah keramaian ibu kota menjadi pemantik meledaknya sebuah isu di media sosial. Pola sharing informasi yang sangat mudah dan cepat, tanpa analisa yang kritis dan pengimbangan berita, memunculkan sindrom berupa kecemasan-kecemasan dalam media digital.

Kasus lain, yakni hilangnya beberapa orang yang dianggap sebagai bagian operasi jaringan radikal. Hilangnya dokter Rica Tri Handayani di Yogyakarta sejak 30 Desember 2015 lalu menjadi kasus penting dalam persebaran jaringan ormas radikal. Dokter muda tersebut akhirnya ditemukan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada Senin 11 Januari 2016. Selain itu, seorang mahasiswa bernama Eri Indra Kausar juga meninggalkan rumah sejak empat bulan lalu. Mahasiswa yang bermukim di Jalan Suripto, Kenjeran, Surabaya diduga ikut kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

Digital Media: Produsen atau Konsumen? 

Pertumbuhan media digital yang cepat dan inovatif  harus diimbangi dengan kejernihan berpikir. Kecepatan media digital yang memberikan akses jutaan informasi tiap detiknya, memungkinkan pengguna untuk tidak berpikir secara cermat dan jernih. Akibatnya, pengguna hanya menjadi korban di tengah jebakan kecepatan media digital.

Analisa Robert W Taylor dalam Digital Crime and Digital Terrorism (2014) mengingatkan kita bagaimana efek dari penyalahgunaan media digital. Taylor mengungkapkan bahwa, terorisme yang menggunakan media digital adalah ironi dari modernisme dan perkembangan teknologi. Ia menganalisa bahwa, teknologi sejatinya hanyalah sebagai alat, yang bertujuan untuk memudahkan manusia. Justru, manusialah sebagai pengguna yang arif dengan tujuan meringankan kerja-kerja teknisnya. Namun, di sisi lain, ada bahaya yang mengintai yakni munculnya kelompok kriminal dan teroris yang menggunakan sarana media digital.

Inilah yang perlu dipahami oleh manusia sebagai pengguna media digital, perlu kemampuan analisa untuk menggunakan akses media dan kecanggihan teknologi. Pola mengkonsumsi media digital tanpa analisa dan keseimbangan berpikir, hanya akan menjadi korban informasi serta kecanggihan media. Pada titik ini, munculnya berita hoax (bohong) dan kasus-kasus kriminal berbasis dunia digital menemukan ruang relevansinya.

Revolusi media perlu diimbangi dengan revolusi cara berpikir. Maksudnya, perubahan teknologi dan tren media, perlu dijembatani dengan cara berpikir bagaimana menggunakan media secara produktif, bukan hanya  menjadi konsumen media digital. Contoh sederhana, yang dibutuhkan adalah hadirnya cara berpikir yang smart, tidak hanya mengandalkan smart-phone. Teknologi yang canggih dan smart, hanya akan bekerja maksimal dengan pengguna yang memiliki kemampuan yang juga smart.

Sudah saatnya arif dalam menyikapi perkembangan media digital. Menjadi konsumen saja tidak cukup, secara produktif kita perlu menjadi produsen. Menjadi produsen, dalam artian juga memberikan informasi, pendapat, analisa yang inspiratif  di media sosial serta media digital. Dengan demikian, kita tidak akan terjebak sebagai konsumen dan korban, namun menjadi pengguna media yang arif menyikapi revolusi perkembangan teknologi.



*Munawir AzizPengajar dan Peneliti, Redaktur islami.co & Dewan Redaksi Penerbit Mizan.
Email: moena.aziz@gmail.com (@MunawirAziz)

**Esai ini telah terbit di tribunjateng, pada 22 Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar