Pages

MEDIA DAN IDEOLOGI



Media bukanlah cermin yang memantulkan bayangan serupa realita. Laiknya  manusia, ia punya beragam kepentingan dan beraneka cara pandang terhadap dunia. Banyak orang percaya, teks media menuntun cara pandang masyarakat terhadap dunia. Tatkala dunia semakin sesak oleh laju arus informasi dan pesatnya pertumbuhan, media tak sekadar jadi pegangan tetapi kebutuhan. Ia kerap diibaratkan sebagai matahari yang menerangi dunia, menyampaikan pesan yang merasuk ke kalbu umat manusia dan memberi pencerahan (Siregar, 2004:107). Tak heran, media menduduki posisi penting bagi ruang sosial masyarakat kini.

Media, dengan cara pandangnya, ’membantu’ masyarakat merumuskan konsepkonsep relasi dan norma sosial. Dengan kata lain, media berideologi. Ideologi dapat dimaknai sebagai kesatuan makna yang membantu mendefinisikan atau memberikan penilaian terhadap dunia. Media tak sekadar menjadi penghantar arus informasi. Ia menghadirkan kembali realitas yang terjadi di masyarakat lewat sudut pandangnya. Dari realitas yang dibangun media, konsep-konsep relasi dan norma sosial di masyarakat dibangun.

Pun dengan media (massa) di Indonesia. Tak dapat dimungkiri, media massa merupakan salah satu faktor determinan dalam sejarah panjang perjuangan bangsa. Lewat realitas yang dihadirkannya, media massa mengonstruksi pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai perjuangan dan kebebasan. Untuk melihat perkembangan ideologi media ini, perlu kiranya menelusuri rentang sejarah perkembangan media massa Indonesia dan pergulatan ideologi di dalamnya. 

Media massa nasional milik pribumi lahir pada era kolonial. Kemunculan Medan Prijaji pada 1907 menjadi tonggak bangkitnya media massa nasional (Surjomiharjo,2002: 47). Media massa yang dominan kala itu adalah media milik Belanda yang melayani  kebutuhan pemodal yakni para pemilik pabrik gula. Minimnya akses dan pemberitaan yang memihak pribumi, membuat R.M. Tirto Adisuryo merasa perlu menerbitkan media nasional milik pribumi. Media massa pribumi yang berkembang selanjutnya tak lepas dari semangat perjuangan yang memihak kaum minoritas yakni pribumi. Media pribumi menjadi counter culture bagi media dominan saat itu. Media pribumi menawarkan cara pandang baru— persamaan dan kebebasan—dalam melihat relasi sosial masyarakat feodal pada masa itu.Setelah Indonesia merdeka, ideologi pembebasan dan perjuangan kelas ini beralih. Dengan berlakunya demokrasi liberal di Indonesia, banyak bermunculan media massa terbitan partai-partai politik. Masing-masing media berusaha menghadirkan realitas dengan cara pandang atau ideologinya. Perang ideologi pun terjadi. Media dengan beragam cara mengemas realitas sedemikian rupa untuk mendapatkan konstituen sebanyak-banyaknya. Para politisi menjadi agen yang dominan dalam menentukan ideologi media.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi titik balik riuh rendah perkembangan media Indonesia. Dengan berlakunya demokrasi terpimpin, ideologi media –yang dulu didominasi kepentingan politikus—berganti. Media diarahkan sepenuhnya menjadi alat propaganda pemerintah,sebagai ideologi dominan. Ideologi media diarahkan menjadi seragam.

Keadaan tak jauh beda pada masa Orde Baru. Media masih menjadi alat propaganda kebijakan pemerintah. Pengendalian media massa bukan semata-mata untuk menguasai media tersebut, melainkan untuk menguasai alam pikiran masyarakat tersebut (Siregar, 2004: 115). Untuk itu, ideologi selain ideologi pemerintah dilarang berkembang atas nama kestabilan pembangunan. Lewat Departemen Penerangan, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan mekanisme pembredelan, pemerintah Orde Baru berusaha mengontrol ideologi media.

Realitas sosial masyarakat dibangun lewat repetisi pemberitaan yang mengarahkan cara pandang masyarakat pada keteraturan ala Orde baru. Masyarakat dikonstruksi agar menjadi permisif (taken for granted) terhadap kebijakan pemerintah.

Masa Reformasi menjadi tiang pancang kebebasan media massa Indonesia. Jatuhya Orde Baru dan pencabutan pemberlakuan SIUPP berdampak pada perkembangan corak ideologi media. Kebebasan pers membuka peluang bagi terciptanya media yang berorientasi pada masyarakat (civil centered).
Pada era ini, media mampu menjadi wahana sosialisasi, diskursus, dan ajang tumbuh kembang budaya di masyarakat. Budaya dominan di masyarakat memungkinkan untuk ditantang dan dilawan dengan adanya kebebasan pers ini. James D. Hunter dalam Croteau, 1994 menyebutnya sebagai the culture wars.

Di sisi lain, celah regulator yang ditinggalkan pemerintah juga menjadi lahan subur bagi perkembangan pasar atau kapital. Menjamurnya institusi media membuka peluang pasar persaingan terbuka. Institusi media dengan kekuatan modal besar menggusur media bermodal pas-pasan. Mekanisme ini membentuk pola media massa Indonesia. Ideologi yang berbasis pasar menjadi ideologi yang dianut sebagian besar media massa Indonesia.

Para pemilik modal, sebagai penguasa pasar, menjadi pihak yang dominan dalam pembentukan ideologi media. Orientasi kebijakan media berkutat pada melayani kebutuhan pasar. Komersialisasi media menjadi kata kunci.

Media menghadirkan kembali realitas dengan cara pandang atau ideologinya sendiri. Pada tahap ini media tak bisa lagi dimaknai sebagai institusi netral yang bebas kepentingan. Kebijakan yang diambil media menjadi indikator ideologi media apa yang diambil. Namun, perlu berhati-hati dalam menyimpulkan macam ideologi yang sedang diusung sebuah media. Kepentingan pasar dan kebebasan pers seringkali berkelindan sehingga tak jelas ujung pangkalnya.

Dalam era reformasi, kebebasan pers membuka ruang bagi kelompok-kelompok masyarakat untuk bertarung bebas. Pendekatan semacam ini tentunya patut dikritisi. Masyarakat memang tak lagi dicengkeram kediktatoran penguasa, akan tetapi media di dominasi kelompok elit pemilik modal. Media menjadi alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok minoritas (Sudibyo,2004:68).

Ideologi media banyak dipengaruhi sistem ekonomi, sosial, dan politik yang berlaku kala itu. Bergantinya sistem politik mengakibatkan berganti pula dominasi ideologi media  yang berkembang. Ideologi media tidaklah bersifat statis. Lewat teks media, sebuah ideology bisa ditengarai bagaimana ia dikonstruksi, ditantang, ataupun berubah.



Penulis/Sumber : Nur Sayyid Santoso Kristeva, dalam Buku Panduan Jurnalism Basic Training

Tidak ada komentar:

Posting Komentar